Beranda | Artikel
Faidah Ushul Tsalatsah [bagian 3]
Jumat, 24 Februari 2017

Materi :

– Awal Risalah

– Makna Istilah Wajib

– Wajibnya Menimba Ilmu

Awal Risalah

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu. Wajib bagi kita untuk mempelajari empat perkara…”

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Semoga Allah merahmatimu artinya; semoga Allah melimpahkan kepadamu rahmat-Nya yang dengan itu kamu akan berhasil meraih cita-citamu dan kamu akan selamat dari apa yang kamu khawatirkan. Sehingga makna ungkapan ini adalah semoga Allah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan semoga Allah memberikan taufik kepadamu dan menjagamu dari dosa-dosa yang akan datang. Ini apabila doa rahmat disebutkan secara sendirian. Adapun apabila doa ini disertakan bersama doa ampunan maka doa ampunan ditujukan bagi dosa-dosa yang telah lalu, sedangkan rahmat dan taufik untuk mendapatkan kebaikan serta keselamatan di masa depan. Apa yang dilakukan oleh penulis rahimahullahu ta’ala menunjukkan perhatian beliau dan kasih sayangnya kepada orang yang diajak bicara serta menunjukkan bahwa beliau menginginkan kebaikan untuknya.” (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul, hal. 19) 

Doa ‘semoga Allah merahmatimu’ merupakan doa kepada Allah agar menjaga seorang insan dari kebodohan dan dosa-dosa. Sumber segala keburukan adalah kebodohan kemudian dosa-dosa. Kebodohan itulah yang membangkitkan berbagai macam dosa. Oleh sebab itu para Sahabat mengatakan bahwa setiap orang yang mengerjakan dosa/maksiat maka pada hakikatnya dia adalah jahil/bodoh. Sehingga doa ‘semoga Allah merahmatimu’ mengandung permohonan kepada Allah agar menjagamu dari kebodohan dan dosa-dosa yang timbul karenanya. Maka barangsiapa yang diberi rahmat oleh Allah niscaya dia akan mendapatkan kebahagiaan (lihat al-Mahshul min Syarh Tsalatsatil Ushul oleh Syaikh Abdullah al-Ghunaiman hafizhahullah, hal. 12)

Syaikh Khalid bin Abdullah al-Mushlih hafizhahullah menjelaskan, “Ini merupakan kehalusan beliau dan gaya penulisan yang bagus yang menunjukkan kelembutan beliau kepada orang yang menimba ilmu. Beliau mendoakan curahan rahmat bagi orang yang menimba ilmu, baik dia adalah sebagai pembaca maupun pendengar pelajarannya. Ini merupakan metode yang sangat penting dan cara yang sudah semestinya diperhatikan. Yaitu semestinya seorang pengajar dan da’i yang menyeru kepada agama Allah ‘azza wa jalla menjadi seorang yang lembut dan penyayang. Begitu pula seharusnya orang yang didakwahi merasa bahwa da’i tersebut menginginkan kebaikan dan hidayah baginya. Hendaknya dia merasa bahwa sang da’i menginginkan agar dia terkeluarkan dari berbagai kegelapan menuju cahaya. Sesungguhnya metode semacam ini merupakan salah satu penyebab diterimanya dakwah dan diterimanya ilmu yang disampaikan. Oleh sebab itulah Allah jalla wa ‘ala berfirman mengenai rasul-Nya (yang artinya), ‘Seandainya kamu adalah orang yang berhati kasar niscaya mereka akan lari dari sisimu.’ (Ali Imran: 159). Dan semestinya seorang da’i yang menyeru kepada agama Allah ‘azza wa jalla menjadi seorang yang lembut lagi penyayang. Sebagaimana yang difirmankan Allah jalla wa ‘ala tentang diri Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), ‘Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian, terasa berat apa saja yang menyusahkan kalian, dan sangat bersemangat memberikan kebaikan untuk kalian dan kepada orang-orang yang beriman sangat lembut dan penyayang.’ (at-Taubah: 128)…. ” (lihat Syarh al-Ushul ast-Tsalatsah, hal. 4 asy-Syamilah)  

Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah menjelaskan, bahwasanya di dalam doa yang dipanjatkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tersebut terkandung faidah yaitu kedalaman fikih/ilmu beliau. Dimana beliau memadukan antara ta’lim dengan doa. Ini merupakan salah satu metode ulama salaf dalam berdakwah. Dikisahkan, bahwasanya dahulu di masa Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu ada seorang pelaku maksiat yang telah diberi nasihat akan tetapi tidak kunjung berhenti/bertaubat. Perkara itu pun sampai ke telinga Umar. Kemudian Umar pun menulis surat untuknya yang berisi nasihat dan doa baginya. Maka tidaklah orang itu membacanya kecuali dia bertaubat dari perbuatannya. Ini merupakan bukti bahwasanya doa memiliki peran penting dalam pendidikan. Dan hal ini juga menunjukkan bahwasanya salah satu sebab utama keberhasilan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ialah karena beliau memadukan antara tawakal -dalam bentuk berdoa kepada Allah- dengan berusaha yaitu berupa ta’lim atau mengajarkan ilmu dengan memaparkan masalah-masalah agama yang disertai dengan dalil sehingga hal itu menjadi semakin jelas dan gamblang (lihat Transkrip hal. 6)

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ

“Sesungguhnya Allah hanya akan menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang.” (HR. Bukhari)

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

“Orang-orang yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh ar-Rahman (Allah). Maka sayangilah penduduk bumi niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)

Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah menerangkan, “Hal ini dikarenakan balasan atas suatu amal sejenis dengan amal yang dilakukan. Sebagaimana mereka menyayangi maka mereka pun disayangi. Ketika muncul kasih sayang dari mereka kepada orang-orang yang memang berhak untuk disayangi maka balasan untuk mereka adalah Allah ta’ala pun menyayangi mereka…” (lihat Syarh Sunan Abu Dawud [28/249] asy-Syamilah)

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah menjelaskan, “Para ulama mengatakan -ketika menjelaskan kandungan hadits tersebut, pent- bahwa sebabnya adalah dikarenakan ilmu ini dibangun di atas landasan rahmat (kasih sayang). Buahnya adalah rahmat di dunia dan tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan rahmat di akherat. Oleh sebab itulah Syaikh -Muhammad bin Abdul Wahhab- rahimahullah memberikan perhatian atasnya dengan cara yang halus dan lembut yaitu ketika beliau mengutarakan -di dalam risalah ini- dengan ucapannya, ‘Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu’. Ini merupakan doa agar orang yang menimba ilmu memperoleh curahan rahmat. Hal itu dikarenakan kegiatan belajar-mengajar yang dilakukan antara pengajar dengan pelajar dibangun di atas landasan sikap saling menyayangi, satu sama lain -disayangi- sesuai dengan kedudukannya.” (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul, hal. 4) 

Makna Istilah Wajib

Penulis kitab -yaitu Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah– mengatakan di bagian awal risalahnya, “Ketahuilah -semoga Allah merahmati anda- bahwa wajib atas kita…”

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Wajib ialah segala sesuatu yang diberi pahala bagi pelakunya dan diberi hukuman bagi yang meninggalkannya. Adapun mustahab/sunnah adalah perkara yang diberi pahala bagi pelakunya dan tidak dihukum orang yang meninggalkannya. Dan mubah itu adalah hal-hal yang tidak diberi pahala karena melakukannya dan tidak dihukum/berdosa karena meninggalkannya.” (Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 15)

Di dalam kitabnya al-Ushul min ‘Ilmi al-Ushul, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa wajib adalah sesuatu yang diperintahkan oleh ‘pembuat syari’at’ dalam bentuk keharusan seperti halnya sholat lima waktu. Artinya, di dalam perkara yang wajib ini tidak ada pilihan lain bagi hamba. Contoh perkara wajib lainnya adalah puasa Ramadhan. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menyaksikan bulan itu maka hendaklah dia berpuasa.” (al-Baqarah : 185). Sesuatu yang wajib adalah hal yang diperintahkan, oleh sebab itu tidak termasuk di dalamnya perkara haram, makruh, dan mubah; karena ketiga hal ini tidak diperintahkan. Dan dengan perkataan ‘dalam bentuk keharusan’ memberikan faidah bahwa perkara yang mandub/mustahab tidaklah termasuk dalam hal yang wajib. Karena sesuatu yang mustahab/dianjurkan tidak ada keharusan padanya. Orang yang melakukan kewajiban akan diberi pahala apabila dia melakukannya dalam rangka menjalankan syari’at, bukan karena riya’. Selain itu dalam melakukan kewajiban juga harus dilandasi dengan niat. Dan juga harus sesuai dengan petunjuk/ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang meninggalkan kewajiban berhak untuk diberi hukuman apabila dia melakukannya dalam keadaan mengetahui dan sengaja atau dia meninggalkan kewajiban itu secara mutlak/tidak melakukannya sama sekali (lihat Syarh al-Ushul min ‘Ilmi al-Ushul oleh Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir asy-Syatsri hafizhahullah, hal. 52-53)

Wajib juga bisa didefinisikan dengan ‘hal-hal yang dipuji bagi pelakunya dan dicela bagi yang meninggalkannya’. Adapun sunnah/mustahab/mandub adalah ‘hal-hal yang pelakunya dipuji tetapi yang meninggalkannya tidak dicela’ (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Muhammad bin Husain al-Jizani hafizhahullah hal. 290-291)

Yang dimaksud dengan istilah ‘pembuat syari’at’ adalah Allah atau rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena taat kepada rasul sama dengan taat kepada Allah. Adapun pada asalnya yang menetapkan syari’at itu adalah Allah ‘azza wa jalla. Meskipun demikian rasul adalah penyampai syari’at Allah itu dan menjadi penetap syari’at itu bagi hamba-hamba Allah (lihat Syarh al-Ushul min ‘Ilmi al-Ushul oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, hal. 46)

Wajibnya Menimba Ilmu

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “… wajib atas kita untuk mempelajari empat perkara…”

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Perkara-perkara yang akan disebutkan oleh penulis rahimahullahu ta’ala ini adalah mencakup seluruh bagian dari agama. Oleh sebab itu ia sangat layak untuk diperhatikan karena besarnya manfaat yang terkandung di dalamnya.” (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah karya Syaikh Utsaimin, hal. 19)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “… Apabila kita meninggalkan belajar ilmu tentang perkara-perkara ini maka kita berdosa. Karena seperti itulah hukum perkara yang wajib. Beliau tidak mengatakan ‘dianjurkan bagi kita’ atau ‘sebaiknya kita lakukan’ tetapi beliau mengatakan bahwa hal ini adalah sesuatu yang benar-benar wajib atas kita…” (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah karya Syaikh al-Fauzan, hal. 15)

Syaikh Abdul Karim al-Khudhair hafizhahullah menerangkan, “…Bahkan setiap muslim wajib untuk mengetahui perkara-perkara ini. Karena ia merupakan sesuatu yang sangat mendesak untuk diketahui olehnya. Di dalamnya terdapat pokok-pokok yang melandasi seluruh ajaran agama. Bahkan, perkara-perkara ini telah mencakup semua bagian agama, sedangkan perkara lainnya merupakan cabang-cabang darinya.” (lihat Transkrip Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh Syaikh Abdul Karim al-Khudhair, bagian 1 hal. 5)

 

Kesimpulan dan Faidah :

– Hendaknya dakwah ditegakkan di atas rahmat

– Salah satu bentuk rahmat kepada mad’u adalah dengan mendoakan kebaikan untuk mereka

– Doa rahmat mengandung kebaikan bagi masa lalu dan masa depan

– Orang yang merahmati sesama maka akan dirahmati Allah

– Sumber keburukan adalah kebodohan terhadap agama

– Wajibnya menimba ilmu agama

– Ilmu yang wajib dipelajari itu mencakup pokok-pokoka agama

– Wajibnya belajar tauhid

 

Pertanyaan Evaluasi :

– Sebutkan makna doa rahmat sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin!

– Sebutkan dalil hadits yang memerintahkan untuk merahmati sesama!

– Apa yang dimaksud dengan wajib?


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/faidah-ushul-tsalatsah-bagian-3/